BAB
II
PEMBAHASAN
Lima
Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang
Al-Ushul Al-Khamsah
A.
At-Tauhid
At-tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama
dan intisari ajaran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah Tauhid memiliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaesaan-Nya. Tuhalah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun
yang menyamainya. Oleh karea itu, hanya ialah yang Qadim. Bila ada yang Qadim
lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud
al-qudama (bebilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan
keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki
sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, (antromorfisme
tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan Esa, tak ada satupun yang
menyerupainya. Dia Maha melihat, kuasa, mengetahui, dan sebagainya. Namun,
mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan
dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan
yang Qadim berarti ada dua yang Qadim yaitu Dzat dan Sifat-Nya. Wasil
bin Ata seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan
sifat yang Qadim berarti telah
menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima karena perbuatan syirik.
Apa
yang disebut sifat menurut Mu’Tazilah
adalah Dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-Hudzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu adalah tuhan sendiri, Tuhan
berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan it adalah Tuhan sendiri,” dengan demikian,pengetahuan
dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan bukan
sifat yang menempel pada Dzat-Nya.[1]
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
baru (diciptakan), Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan, Al-Qur’an tediri
atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
Harun Nasution mencatat perbedaan antara
Al-Juba’I dan Abu Hasyim atas pernyataan “Tuhan
mengetahui dengan esensi-Nya”. Menurut Al-Juba’i arti pernyataan tersebut
adalah bahwa untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam
bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan tersebut berarti Tua memilki keadaan
mengetahui. Sungguh pun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki
sifat. Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Huzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles, agaknya beralasan bila para pendiri mazhab ini lebih
berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut paham keadilan
Keesaan Tuhan).
Doktrin Tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang
dapat menyamai-Nya. Begitu pula sebaliknya Tuhan tidak serupa dega makhluk-Nya.
Tuhan adalah Immateri. Oleh karena
itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengeesakan adanya
kejesiman Tuhan, bagi Mu’tazilah,
tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha Suci Tuhan dari
penyerupaan dari yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme.
Penolakan terhadap faham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan
akal melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam Al-Qur’an. Mereka
berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi :
Artinya
: “Tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya.”(Q.S. Asy-Syura 42:9)
Memang tidak dapat dibantah, bahwa Mu’Tazilah, sebagai aliran lain, telah
terkena pengaruh filsafat Yunani. Namun hal itu tidak kemudian menjadikannya
sebagai pengikut buta Helenisme. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang
kuat, pemikiran helinistik yang telah mereka pelajari, dijadikan sebagai
senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya, yakni para Muadditsin rafidah manichscanisme,
dan berbagai aliran keagamaan India.[2]
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap Antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir
menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada
arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini
tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk kepada konteks kebahasaan
yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Misalnya kata-kata tangan (Q.S. Shaad 38:75) diartikan kekausaan dan pada konteks yang
lain Tangan (Q.S. Al –Maidah 5:64) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Arrahman 55:27) diartikan Esensi dan Dzat,
sedangkan Al-Arsy (Q.S. Toha 20:5) diartikan kekuasaan.
B.
Al-Adl
Ajaran
dasar mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat, yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan.
Karena Tuhan Maha sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin
menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam
semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang
adil apabila bertindak hanya yang baik (ashlah)
dan terbaik (alaslah) dan buan yang
tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjiNya. Dengan
demikian, Tuhan terikat dengan janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini, berkait
erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1.
Perbuatan Manusia
Manusia
menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas
dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar
bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya
menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan
pastilah baik dan apa yang dilarangnya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari
perbuatan yang buruk. Konsep ini
memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan
diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan
akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah
keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak
dipaksa.
2.
Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam
istilah Arabnya berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah dan wa al-aslah.
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia.[3]
Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan
penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan
berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti Ia
tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Maha Sempurna. Bahkan menurut an-nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah,
Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan,
kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagiNya. Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti
itu, berarati Ia tidak bijaksana, pelit, dan kasar/kejam.
3.
Mengutus Rosul
Mengutus
rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan dengan alas an-alasan sebagai
berikut:
a.
Tuhan wajib
berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan
mengutus rasul kepada mereka.
b.
Al-qur’an secara
tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia
(Q.S As-Syua’raa 26:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan
mengutuskan rasul.
c.
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain kecuali mengutus rasul.
C.
Al- wa’d dan Al- wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan
ajaran kedua diatas. Al-wa’a wa al-wa’id berarti
adalah janji dan dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak
akan melanggar janjiNya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjiNya
sendiri, yaitu member pahala bagi yang berbuat baik (almuthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka
(al-ashi). Begitu pula janji Tuhan
untuk memeberi pengampunan bagi orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Ajaran ketiga ini tidak member peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janjiNya,
yaitu member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat,
kecuali orang yang bertaubat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali
bila ia taubat.[4] Kejajahatan dan
kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang temasuk
dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin menghukuminya. Ajaran
ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa.
D.
Al- Manzilah bain Al-Manzilatain
Ini mula-mula yang menyebabakan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan
status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Pokok ajaran ini
adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi
mukmin atau kafir melainkan fasik. Izutsu dengan mengutip Ibn Hazm menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut “orang
yang melakukan dosa besar adalah fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan
pula munafik (hipokrit).” Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan
bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan
antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang
sembelihannya.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak bisa dikatakan sebagai mukmin
secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan,
tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan
melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak
karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang
baik. Hanya saja kalo meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke Neraka
selama-lamanya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke neraka hanya saja siksaannya lebih ringan
daripada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan kelas yang
lebih rendah dari mukmin sejati, tampaknya disini Mu’tazilah ingin mendorong
agar manusia tidak menyepelekan dosa terutama dosa besar.
E.
Al-Amr Bi Al-Ma’ruf
wa An-Nahi an Munkar
Ajaran dasar yang
kelima adalah Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa
An-Nahl an Munkar yaitu menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran
ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik, diantaranya menyuruh orang berbuat baik, dan mencegahnya
dari kejahatan.[5]
Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar seperti yang dijelaskan oleh seorang tokohnya yang
bernama Abd Al-Jabbar yaitu berikut
ini :
1.
Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf
yang dilarang itu memang munkar
2.
Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan
orang.
3.
Ia mengtahui bahwa amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan
membawa mudharat yang lebih besar. Ia engetahui atau paling tidak menduga bahwa
tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Al-Amr bi Ma’ruf wa Al-Nahi An-Munkar
bukan monopoli konsep Mu’tazilah. Fase tersebut
sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti asal Al
Ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima masyarakat karena
mengandung kebaikan dan kebenaran. Sedangkan Al-Munkar adalah sebaliknya yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak
diterima, atau buruk. Fase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai
dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya
perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan.
Perbedaan Mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai
ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan,
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lima
Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah diantaranya adalah:
1.
At-tauhid
(Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.. Tuhan harus disucikan dari
segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya.
2.
Al-Adl ajaran
dasar mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Ajaran
ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan
manusia
3.
Al- wa’d dan Al- wa’id ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan
ajaran kedua diatas. Al-wa’a wa al-wa’id berarti
adalah janji dan dan ancaman.
4.
Al- Manzilah
bain Al-Manzilatain.Ini mula-mula yang menyebabakan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan
status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Pokok ajaran ini adalah
bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mukmin atau
kafir melainkan fasik.
5.
Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa An-Nahi an Munkar. Ajaran dasar yang kelima adalah Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa An-Nahl an Munkar yaitu menyuruh kebajikan
dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran
dan kebaikan.
B.
Saran
Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam pembuatan malakah baik dari segi
isi dan penulisan. Kami mengharapkan saran dari pembaca untuk kiranya
dapat meberikan saran untuk memperbaiki makalah ini dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, Cet., ke-VI, 2011.
0 komentar:
Posting Komentar