Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 05 Juni 2013

Aliran Mu'tazilah


BAB II
PEMBAHASAN
Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang Al-Ushul Al-Khamsah
A.    At-Tauhid
      At-tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhalah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya. Oleh karea itu, hanya ialah yang Qadim. Bila ada yang Qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (bebilangnya dzat yang tak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan Esa, tak ada satupun yang menyerupainya. Dia Maha melihat, kuasa, mengetahui, dan sebagainya. Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan dzat-Nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang Qadim berarti ada dua yang Qadim yaitu Dzat dan Sifat-Nya. Wasil bin Ata seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani mengatakan, “Siapa yang mengatakan sifat yang Qadim berarti telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima karena perbuatan syirik.
Apa yang disebut sifat menurut Mu’Tazilah adalah Dzat Tuhan itu sendiri. Abu Al-Hudzail berkata, “Tuhan mengetahui dengan ilmu, dan ilmu adalah tuhan sendiri, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan it adalah Tuhan sendiri,” dengan demikian,pengetahuan dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan bukan sifat yang menempel pada Dzat-Nya.[1]
      Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (diciptakan), Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan, Al-Qur’an tediri atas rangkaian huruf, kata, dan bahasa yang satunya mendahului yang lainnya.
      Harun Nasution mencatat perbedaan antara Al-Juba’I dan Abu Hasyim atas pernyataan “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya”. Menurut Al-Juba’i arti pernyataan tersebut adalah bahwa untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun menurut Abu Hasyim, pernyataan tersebut berarti Tua memilki keadaan mengetahui. Sungguh pun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Huzail mengambil konsep nafy ash-shifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles, agaknya beralasan bila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adli wa at-tauhid (pengikut paham keadilan Keesaan Tuhan).
      Doktrin Tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai-Nya. Begitu pula sebaliknya Tuhan tidak serupa dega makhluk-Nya. Tuhan adalah Immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengeesakan adanya kejesiman Tuhan, bagi Mu’tazilah, tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Maha Suci Tuhan dari penyerupaan dari yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap faham antropomorfistik bukan semata-mata atas pertimbangan akal melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat didalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi :


Artinya : “Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya.”(Q.S. Asy-Syura 42:9)
      Memang tidak dapat dibantah, bahwa Mu’Tazilah, sebagai aliran lain, telah terkena pengaruh filsafat Yunani. Namun hal itu tidak kemudian menjadikannya sebagai pengikut buta Helenisme. Dengan didorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran helinistik yang telah mereka pelajari, dijadikan sebagai senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya, yakni para Muadditsin rafidah manichscanisme, dan berbagai aliran keagamaan India.[2]
      Untuk menegaskan penilaiannya terhadap Antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman Tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk kepada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Misalnya kata-kata tangan (Q.S. Shaad 38:75) diartikan kekausaan dan pada konteks yang lain Tangan (Q.S. Al –Maidah 5:64) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Arrahman 55:27) diartikan Esensi dan Dzat, sedangkan Al-Arsy (Q.S. Toha 20:5) diartikan kekuasaan.
B.     Al-Adl
      Ajaran dasar  mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil ini merupakan sifat, yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan Maha sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ashlah) dan terbaik (alaslah) dan buan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjiNya. Dengan demikian, Tuhan terikat dengan janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini, berkait erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1.      Perbuatan Manusia
            Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang  buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
2.      Berbuat Baik dan Terbaik
            Dalam istilah Arabnya berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah dan wa al-aslah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia.[3] Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Maha Sempurna. Bahkan menurut an-nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagiNya.  Artinya, bila tuhan tidak bertindak seperti itu, berarati Ia tidak bijaksana, pelit, dan kasar/kejam.
3.      Mengutus Rosul
            Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan dengan alas an-alasan sebagai berikut:
a.       Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
b.      Al-qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S As-Syua’raa 26:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan mengutuskan rasul.
c.       Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain kecuali mengutus rasul.
C.    Al- wa’d dan Al- wa’id
      Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-wa’a wa al-wa’id berarti adalah janji dan dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, tidak akan melanggar janjiNya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjiNya sendiri, yaitu member pahala bagi yang berbuat baik (almuthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memeberi pengampunan bagi orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya. Ajaran ketiga ini tidak member peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janjiNya, yaitu member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang bertaubat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia taubat.[4] Kejajahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang temasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin menghukuminya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.

D.    Al- Manzilah bain Al-Manzilatain
      Ini mula-mula yang menyebabakan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mukmin atau kafir melainkan fasik. Izutsu dengan mengutip Ibn Hazm menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut “orang yang melakukan dosa besar adalah fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).” Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.
      Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak bisa dikatakan sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalo meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke Neraka selama-lamanya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasik pun dimasukkan ke neraka hanya saja siksaannya lebih ringan daripada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan kelas yang lebih rendah dari mukmin sejati, tampaknya disini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelekan dosa terutama dosa besar.

E.     Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa An-Nahi an Munkar
      Ajaran dasar yang kelima adalah Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa An-Nahl an Munkar yaitu menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya menyuruh orang berbuat baik, dan mencegahnya dari kejahatan.[5]
      Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar seperti yang dijelaskan oleh seorang tokohnya yang bernama Abd Al-Jabbar yaitu berikut ini :
1.      Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf yang dilarang itu memang munkar
2.      Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
3.      Ia mengtahui bahwa amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar. Ia engetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
            Al-Amr bi Ma’ruf wa Al-Nahi An-Munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah. Fase tersebut sering digunakan dalam Al-Qur’an. Arti asal Al Ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Sedangkan Al-Munkar adalah sebaliknya yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Fase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan.
            Perbedaan Mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah diantaranya adalah:
1.      At-tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah.. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya.
2.      Al-Adl ajaran dasar  mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia
3.       Al- wa’d dan Al- wa’id ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-wa’a wa al-wa’id berarti adalah janji dan dan ancaman.
4.      Al- Manzilah bain Al-Manzilatain.Ini mula-mula yang menyebabakan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum taubat bukan lagi mukmin atau kafir melainkan fasik.
5.      Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa An-Nahi an Munkar. Ajaran dasar yang kelima adalah Al-Amr Bi Al-Ma’ruf wa An-Nahl an Munkar yaitu menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan.
B.     Saran
      Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan malakah baik dari segi  isi dan penulisan. Kami mengharapkan saran dari pembaca untuk kiranya dapat meberikan saran untuk memperbaiki makalah ini dimasa mendatang.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, Cet., ke-VI, 2011.








































                [1]Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, Cet., ke-VI, 2011, Hlm.80  
                [2]Ibid, Hlm. 82
                [3] Ibid, Hlm.84
                [4]Ibid, Hlm. 85
                [5]Ibid,Hlm. 85-86

0 komentar:

Posting Komentar