BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Selain
menjadi sebuah konsep yang penting, budaya organisasi, sebagai perspektif untuk
memahami perilaku individu dan kelompok
dalam satu organisasi, memiliki keterbatasan. Pertama, budaya bukan
satu-satunya cara untuk memandang organisasi. Budaya organisasi belum tentu
didefinisikan sama oleh dua ahli teori
atau peneliti.
1.
Definisi Budaya
a.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
1)
Pikiran;akal budi
2)
Adat istiadat
3)
Suatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju)
4)
Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
b.
Beberapa definisi budaya dalam
buku Prilku dan Manajemen Organisasi adalah:
1)
Simbol,bahasa,ideologi ,ritual,dan mitos.
2)
Naskah organisasi, yang diambil dari naskah pribadi pendiri
organisasi atau pemimpin yang dominan.
3)
Merupakan sebuah produk,sebuah sejarah; didasarkan pada simbol; dan
merupakan suatu abstraksi dari perilaku
dan produk prilaku.[1]
2.
Definisi Organisasi
a.
Menurut Oliver Sheldon
Organisasi adalah proses
penggabungan pekerjaan yang para individu atau kelompok-kelompok harus
melakukantugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk
pemakaian yang efisien, sistematis, positif, dan terorganisasi dari usaha yang
tersedia.[2]
b.
Menurut Schein
Organisasi adalah suatu koordinasi
rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui
pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab.[3]
c.
Menurut Kohler
Organisasi adalah sistem hubungan
yang terstruktur yang mengkoordinasi usaha suatu kelompok orang untuk mencapai
tujuan tertentu.[4]
3.
Definisi Budaya organisasi
Dalam
buku Prilaku dan Manajemen Organsasi karya John. M. Ivancevich,diterangkan
bahwa Budaya organisasi adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi
itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai,dan ekspektasi.budaya organisasi
belum tentu didefinikan sama oleh dua ahli teori atau peneliti. Berikut
pendapat para pakar tengtang budaya organisasi:
a.
Menurut Edgar H. Schein.
Schein menyatakan budaya organisasi sebagai:
“.... a pattern of shared basic assumption that was learned by a
group as it solved its problems of external adaptation and internal
integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore,
to be taught to new member as the correct way to perceive, think, and feel in
relation to those problem.”[5]
Schein menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola
asumsi-asumsi dasar yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi.
Serangkaian asumsi dasar dapat dipelajari oleh para anggota organisasi. Budaya
organisasi mampu bertindak sebagai pemberi solusi atas masalah organisasi,
berperan selaku adaptor terhadap faktor-faktor yang berkembang di luar
organisasi, serta dalam melakukan integrasi internalnya dari para
anggotanya.
Definisi Schein menunjukkan bahwa budaya
melibatkan asumsi, adaptasi,persepsi dan pembelajaan. Dia kemudian menjelaskan
lebih lanjut bahwa suatu budaya organisasi memiliki
tiga lapisan. Yaitu:[6]
1)
Lapisan I mencakup artifak dan ciptaan yang tampak nyata tapi
sering kali tidak dapat diinterpretasikan. Sebuah laporan tahunan, sebuah newsletter,
dinding pembagi antar pekerja, dan dekorasi merupakan contoh dari artifak dan
ciptaan.
2)
Lapisan II terdapat nilai atau berbagai hal yang penting bagi
orang. Nilai merupakan kesadaraan, hasrat afektif, atau keinginan.
3)
Lapisan III merupakan asumsi
dasar yang diciptakan orang untuk memandu perilaku mereka. Termasuk
dalam lapisan ini adalah asumsi yang mengatakan kepada individu bagaimana
berpersepsi, berpikir, dan berperasaan
mengenai pekerjaan, tujuan
kinerja, hubungan manusia dan kinerja rekan kerja.
b.
Menurut Walter R. Freytag
Walter R. Freytag mendefinisikan
budaya organisasi sebagai:
“....adentist and shareof conscious and unconsciousassumptions and
values that blinds organizational members together and prescribes appropriate
patters of behavior”.[7]
Freytag menitikberatkan pada asumsi dan nilai-nilai yang disadari
atau tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan
nilai tersebut menentukan pola prilaku para anggota di dalam organisasi.
c.
Menurut Larissa A. Grunig
Larissa A. Grunig mendefinisikan
budaya organisasi sebagai:
“ ... the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs,
assumption, and expectations that organize and integrate a group of people who
work together.”[8]
Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan
Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi adalah totalitas nilai,
simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu kelompok
orang yang bekerja secara bersama-sama.
d.
Menurut Matt Alvesson
Definisi yang lebih rinci mengenai budaya organisasi diberikan oleh
Matt Alvesson, bahwa saat bicara mengenai budaya organisasi, maka:
“ ... seems to mean talking about the importance for people of
symbolism – of rituals, myths, stories and legends – and
about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are influenced
and shaped by the groups within they live. I will also, however, take
organizational culture to include values and assumptions about social reality
...”[9]
Bagi Alvesson, pembicaraan mengenai budaya organisasi sulit
dilepaskan dari pembicaraan mengenai pentingnya simbolisme bagi manusia, serta
peristiwa, gagasan, dan pengalaman yang dialami serta dibentuk oleh kelompok di
mana seseorang beraktivitas. Dalam analogi dengan kajian sosiologi, anggota
organisasi berposisi sebagai individu sementara organisasi
berposisi sebagai masyarakat. Organisasi membentuk anggota
organisasi agar menyesuaikan diri terhadap budaya yang berkembang di dalam
organisasi sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut.
B.
Tipologi Budaya Organisasi
1.
Tipologi budaya organisasi Versi Amitai Etzioni
a.
Tipe organisasi
Tipologi budaya organisasi dapat
diturunkan dari tipologi organisasi. Amitai Etzioni membagi tipe organisasi
dengan membuat tabulasi silang antara jenis
kekuasaan dengan jenis keterlibatan individu di dalam organisasi.
1)
Jenis kekuasaan dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a)
Koersif
Jenis Kekuasaan
Koersif adalah kuasa dalam organisasi yang muncul dari penghukuman fisik atau
ancaman penghukuman fisik
b)
Remuneratif
Remuneratif
muncul dari kendali atas sumber daya dan reward material.
c)
Normatif
Normatif muncul
dari distribusi dan manajemen reward serta penalti simbolik.
2)
Keterlibatan
Adalah kecenderungan evaluatif dan emosional dari para aktor
terhadap suatu tindakan. Keterlibatan dibagi menjadi:
a)
Alienatif
Adalah keterlibatan yang sangat
tidak disetujui.
b)
Kalkulatif
Adalah keterlibatan yang lemah baik itu setuju
atau tidak setuju.
c)
Moral
Adalah keterlibatan yang sangat disetujui.
Etzioni
yakin bahwa cenderung akan ada perimbangan antara keterlibatan dan power dalam
suatu organisasi sehingga pola budaya suatu organisasi adalah persilangan
antara kedua konsep tersebut. Menurut Etzioni, tipe kombinasi yang paling
sering muncul dalam realitas organisasi adalah Koersif-Alienatif, Remuneratif-Kalkulatif,
dan Normatif-Moral. Etzioni melanjutkan bahwa ketiga domain tersebut
merupakan tipe organisasi yang paling efektif.
b.
Tipologi Budaya Organisasi
Dari hasil
tabulasi silangnya, Etzioni kemudian mengajukan tipologi organisasinya yaitu : [10]
1)
Organisasi Koersif
Adalah organisasi di mana para anggotanya terperangkap dalam alasan
fisik dan ekonomi sehingga harus mematuhi apapun peraturan yang ditimpakan oleh
otoritas.
2)
Organisasi Utilitarian
Adalah organisasi di mana para anggota dimungkinkan untuk bekerja
yang adil untuk hasil yang adil pula serta adanya kecenderungan untuk mematuhi
beberapa aturan yang esensial di samping para pekerja menyusun norma dan aturan
yang melindungi diri mereka sendiri.
3)
Organisasi Normatif
adalah organisasi di mana para individunya memberi kontribusi pada
komitmen karena menganggap organisasi adalah sama dengan tujuan diri mereka
sendiri.
Tipologi
Etzioni memperlihatkan perbedaan antara organisasi bisnis yang cenderung Utilitarian,
organisasi Koersif seperti penjara dan rumah sakit jiwa, ataupun
organisasi Normatif seperti sekolah, rumah sakit dan lembaga-lembaga
nirlaba.
2.
Tipologi Budaya Organisasi Versi Rob Goffee and Gareth Jones.
Rob Goffee dan Gareth Jones yang
membagi tipologi budaya organisasi ke dalam 4 kuadran yang disasarkan pada dua
konsep yaitu Solidaritas dan Sosiabilitas. Solidaritas
adalah kecenderungan untuk saling dukung sementara Sosiabilitas adalah
kecenderungan untuk berhubungan satu dengan lainnya. yaitu :[11]
a. Networked
tipe budaya
organisasi dengan Sosiabilitas dan Solidaritas tinggi.
b. Fragmented
Adalah tipe budaya organisasi yang rendah baik dimensi Sosiabilitas
maupun Solidaritasnya.
c. Mercenary
Adalah tipe budaya organisasi dengan Solidaritas tinggi, sementara
Sosiabilitas rendah.
d. Komunal.
Adalah tipe budaya organisasi dengan Sosiabilitas tinggi, sementara
Solidaritas rendah.
3.
Tipologi Budaya Organisasi Versi Kim S. Cameron and Robert E. Quinn.
Cameron dan Quinn berbeda dengan
Goffee dan Jones karena menyertakan
kalkulasi masalah eksternal organisasi. Tipologi ini dibangun lewat kerangka
nilai-nilai yang berkembang di dalam budaya suatu organisasi dan sebab itu
disebut pula sebagai “Competing Value Model.” Cameron dan Jones telah
mengembangkan alat ukur khusus untuk mengukur tipologi di atas dan terkenal
dengan sebutan OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument).
Alat ukur OCAI tersebut terdiri dari
24 item pertanyaan dengan 6 indikator. Keenam indikator tersebut adalah:[12]
- Karakteristik-karakteristik dominan organisasi;
- Kepemimpinan organisasi;
- Manajemen pegawai;
- Perekat organisasi;
- Titik tekan strategis; dan
- Kriteria keberhasilan organisasi.
Berdasarkan kombinasi atas keenam indikator
organisasi tersebut, Cameron dan Quinn membuat empat tipologi budaya
organisasinya.[13]
a. Klan
Budaya organisasi yang merupakan tempat paling ramah dan bersahabat
untuk bekerja. Para anggota organisasi saling berbagi kehidupan antar
sesamanya. Ia mirip dengan keluarga di luar rumah. Pemimpin, atau kepala
organisasi, dipandang selaku mentor dan mungkin juga figur orang tua.
Organisasi terbangun atas loyalitas dan tradisi. Komitmen para anggota terhadap
organisasi cukup tinggi. Di samping itu, organisasi menekankan pada keuntungan
jangka panjang dari pembangunan sumber daya manusia dan sangat memperhatikan
kohesi organisasi dan moral. Kesuksesan didefinisikan dalam pengertian
sensitivitas pada penikmat jasa dan perhatian pada orang lain. Organisasi
Klan menempatkan kerja tim, keterlibatan anggota, dan konsensus pada prioritas
tertinggi.
b. Hirarki
Adalah organisasi yang bersifat formal dan terstruktur.
Prosedur-prosedur adalah pengatur yang utama seputar apa yang orang harus
lakukan. Pemimpin bangga jika diri mereka mampu menjadi organisator dan
koordinator yang baik, dengan kecenderungan pada efisiensi. Bagaimana
organisasi berjalan lancar adalah sesuatu yang kritis bagi Hirarki.
Aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan formal yang membuat ikatan dalam
organisasi. Fokus jangka panjang adalah pada stabilitas dan kinerja yang
efisien dan kelancaran operasi. Kesuksesan didefinisikan dalam istilah
penjadualan yang lancar, biaya rendah, dan pengantaran yang teratur. Manajemen
pekerja concern pada keamanan pekerjaan dan prediktabilitas.
c. Adokrasi
Merupakan tempat bekerja yang dinamis, kewirausahawanan, dan kreatif.
Para anggota bersikap waspada dan bersedia mengambil resiko. Pemimpin dianggap
selaku inovator dan pengambil resiko. Organisasi direkatkan oleh komitmen atas
inovasi dan eksperimentasi. Penekanan Adokrasi adalah membawa organisasi
menjadi perintis atau pionir. Penekanan jangka panjang organisasi adalah pada
perkembangan dan pencarian sumber-sumber daya baru. Kesuksesan diartikan
sebagai pencapaian keunikan jasa dan produk-produk baru. Sebab itu, selalu
menjadi pemimpin dalam produksi atau pelayanan adalah nilai terpenting bagi
organisasi yang memiliki budaya Adokrasi. Organisasi juga menghendaki
inisiatif dan kebebasan individual.
d. Market-Oriented.
Disebut organisasi yang berorientasi hasil, di mana concern
utamanya adalah bagaimana pekerjaan dituntaskan. Para anggota cenderung
kompetitif dan berorientasi tujuan. Pemimpin adalah pengarah yang ketat,
produser, sekaligus kompetitor. Mereka zakelijk dan penuntut. Reputasi
dan kesuksesan adalah concern-nya. Fokusnya pada jangka panjang
adalah pemenuhan tujuan serta tindakan kompetitif yang terukur.[14]
Mengenai tipologi budaya organisasi
Cameron dan Quinn. Klan adalah organisasi yang berfokus pada dimensi
internal serta bersifat fleksibel. Hirarki adalah organisasi yang
berfokus pada dimensi internal tetapi stabil. Adokrasi lebih berfokus
pada dimensi eksternal dan bercorak fleksibel. Sementara Market berfokus
pada dimensi eksternal dan bercorak stabil.
C.
Manfaat Budaya Organisasi
Budaya
organisasi mempunyai manfaat, antara lain:
1.
Budaya
mempunyai suatu peran menempatkan tapal batas; artinya budaya menciptakan
pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan jangkauannya.
2.
Budaya membawa
satu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3.
Budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada
kepentingan-kepentingan dari individual seseorang.
4.
Budaya itu
meningkatkan kemantapan sistem social. Budaya merupakan perekat social yang
membantu mempersatuakan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang
tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para anggota.
5.
Akhirnya budaya berfungsi sebagai mekanisme
pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku
anggaotanya.
Selain memiliki manfaat, kadang suatu budaya
yang telah mengakar kuat menimbulkan efek yang negatife antara lain :
1. Penghalang terhadap suatu perubahan
Budaya
terasa sebagai suatu beban, bilamana nilai-nilai yang ada tidak lagi cocok
dengan nilai-nilai yang akan meningkatkan keefektifan suatu organisasi itu. Ini
paling mungkin terjadi bila lingkungan organisasi kita dinamis, bila bangunan
itu mengalami perubahan yang cepat, budaya yang telah berakar dari organisasi
itu mungkin tidak lagi tepat.
2. Penghalang terhadap keanekaragaman
Budaya
yang kuat menyebabkan tekanan yang cukup besar pada para anggota untuk
menyesuaikan diri (conform). Mereka membatasi rentang nilai dan tatanan yang
dapat diterima. Padahal organisasi-organisasi memperlihatkan individu yang
beraneka ragam, karena kekuatan alternative yang dibawa mereka ke tempat kerja.
Oleh karena itu, budaya yang kuat dapat merupakan beban (liabilitas) bila
budaya itu dengan efektif menyingkirkan berbagai kekuatan unik tersebut.
3. Penghalang terhadap afiliasi
Budaya
yang kuat akan menjadi karakteristik suatu organisasi. Bila tidak terdapat
kecocokan (kompatibilitas) antar organisasi suatu dengan yang lainnya, maka
biasanya sualit untuk mengadakan kerja sama.
BAB III
KESIMPULAN
Budaya
organisasi adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu
menciptakan suatu pola keyakinan, nilai dan ekspektasi. Ada beberapa versi
tipologi budaya organisasi budaya, antara lain versi Amitai Etzioni, yang
terdiri dari Organisasi Koersif, Organisasi Utilitarian,
Organisasi Normatif. Versi Rob Goffee and Gareth Jones yang terdiri dari
Networked, Fragmented, Mercenary, dan Komunal. Versi Kim S. Cameron and Robert
E. Quinn terdiri dari Klan, Hirarki, Adokrasi dan Market-Oriented.
Budaya
organisasi mempunyai manfaat, antara lain: Budaya mempunyai peran menempatkan tapal batas; artinya budaya
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan jangkauannya,
Budaya membawa satu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi, Budaya mempermudah
timbulnya komitmen pada suatu yang lebih luas dari pada kepentingan-kepentingan
dari individual seseorang, Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem social.
Budaya merupakan perekat social yang membantu mempersatuakan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan
dilakukan oleh para anggota, Akhirnya budaya berfungsi sebagai mekanisme
pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku
anggaotanya. Selain itu, kadang budaya organisasi memiliki efek negative, yaitu
penghalang suatu perubahan, penghalang keanekaragaman dan penghalang afiliasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amitai Etzioni, Modern Organizations : Studies in the Postmodern
World , London : SAGE Publications Ltd., 1999.
Cameron, Kim S, Diagnosing and Changing Organizational Culture :
Based on the Competing Values Framework, Revised Edition , San Fransisco :
Joh Wiley & Sons, Inc., 2006.
Freytag, Walter R, “Organizational
Culture” dalam Kevin R. Murphy and Frank E. Saal, eds., Psychology in
Organizations: Integrating Science and Practice , New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 1990.
Haberberg, Adrian, Strategic Management : Theory and Application
, New York : Oxford University Press, 2008.
Muhammad, Arni, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara,
Jakarta,2005, cet.7
M.Ivancevich, John , Prilaku dan Manajemen Organisasi, Erlangga:Jakarta,2006.
Setabasri01.blogspot.com/2010/12/budaya-organisasi.html
Schein, Edgar.H, Organizational Culture and Leadership, 3rd Edition
(San Fransisco : John Wiley & Sons, Inc., 2004.
Sutarto, Dasar-dasar Organisasi, Yogyakarta, 2002.
[1] John M.Ivancevich
, Prilaku dan Manajemen Organisasi, Erlangga, jakarta,2006, hlm. 44
[2] Sutarto, Dasar-dasar
Organisasi, Yogyakarta, 2002, hlm.22
[4] Ibid.,hlm. 23
[5] Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership, San
Fransisco : John Wiley & Sons, Inc., 2004, hlm.17.
[7] Walter R.
Freytag, “Organizational Culture” dalam Kevin R. Murphy and Frank E.
Saal, eds., Psychology in Organizations: Integrating Science and Practice ,
New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 1990, hlm.181
[8] Larissa A.
Grunig, James E. Grunig, David M. Dozier, Excellent Public Relations and
Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries
, New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers, 2002, hlm. 282.
[9] Mats Alvesson,
Understanding Organizational Culture , London : SAGE Publications Ltd.,
2002, hlm. 3
[10] Amitai Etzioni,
Modern Organizations : Studies in the Postmodern World , London : SAGE
Publications Ltd., 1999, hlm. 43
[11] Adrian Haberberg and Alison Rieple, Strategic Management :
Theory and Application, New York : Oxford University Press, 2008, hlm. 345.
[12] Kim S. Cameron
and Robert E. Quinn, Diagnosing and Changing Organizational Culture : Based
on the Competing Values Framework, Revised Edition, San Fransisco : Joh
Wiley & Sons, Inc., 2006, hlm. 26
[13]Ibid.,hlm.46
[14] Setabasri01.blogspot.com/2010/12/budaya-organisasi.html
0 komentar:
Posting Komentar