Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 05 Juni 2013

Jurnal


KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI:
HARAPAN UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN


oleh
Nyoman Dantes
Jurusan  Bimbingan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan,  IKIP Negeri Singaraja


ABSTRAK


Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) saat ini merupakan suatu harapan untuk tercapainya mutu pendidikan Indonesia yang kini sedang terpuruk. Sebagai suatu inovasi pendidikan, kurikulum tersebut dikembangkan sesuai dengan paradigma baru pendidikan yang berorientasi konstruktivisme. Sejumlah potensi masalah yang mungkin timbul dalam implementasinya perlu diantisipasi secara lebih dini.

Kata  kunci: Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), paradigma baru pendidikan, implementasi KBK


ABSTRACT


The current implementation of the Competence-Based Curriculum (KBK) yields a hope for a high quality of education in Indonesia, which is now in vain. As an educational innovation, the curriculum has been developed based on the new educational paradigm oriented to the constructivism. An early anticipation to a number of potential problems in its implementation needs to be considered.

Key words: Competence-Based Curriculum (KBK), new educational paradigm, implementation of KBK



1. Pendahuluan
            Dalam dunia pendidikan, perubahan kurikulum bukanlah suatu hal yang luar biasa. Bahkan idealnya, kurikulum harus diganti setiap lima tahun sekali. Hal ini logis mengingat kurikulum merupakan sekumpulan pengalaman belajar yang bertujuan memberi bekal hidup bagi setiap anak didik. Karena dunia terus berkembang dengan berbagai perubahannya, maka kurikulum pun harus disesuaikan dengan tuntutan jamannya.
            Di jaman global sekarang ini dimana sains dan teknologi terutama teknologi informasi berkembang sangat cepat, diperlukan suatu kurikulum yang bersifat global dan fleksibel. Filsafat konstruktivisme yang merajai cara pandang dunia saat ini membawa ciri kemandirian, keberagaman, dan kreativitas dimana setiap orang harus aktif namun tetap fleksibel dalam menghadapi persoalan kehidupan.
            Dunia pendidikan kita perlu melakukan upaya-upaya untuk menjawab tantangan di atas. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang baru saja digunakan secara serentak pada semua jenjang sekolah tampak berusaha menjawab tantangan tersebut. Meskipun perubahan kurikulum merupakan hal yang biasa, tetapi di lapangan penggunaan KBK telah mengundang berbagai kepedulian, pertanyaan, bahkan pro-kontra. Sebagai sebuah sumbangan pemikiran, tulisan ini mengulas mengenai KBK sebagai suatu harapan untuk peningkatan mutu pendidikan dan sebagai pengejawantahan dari paradigma baru pendidikan. Suatu analisis antisipatif mengenai potensi masalah yang mungkin timbul juga dilakukan.

2. KBK: Suatu Harapan
Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad ke-21 dalam laporannya kepada UNESCO (Delors, dkk. 1996) menyebutkan bahwa pendidikan yang bermakna harus dilakukan melalui empat pilar pendidikan (the four pillars of education), yaitu learning to know, learning to  do, learning to be, dan learning to live together. Dalam learning to know siswa diharapkan menguasai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami lingkungan. Dalam learning to do siswa dilatih untuk menggunakan ilmu pengetahuannya untuk menjawab tantangan dunia kerja. Dalam learning to be siswa dididik untuk menjadi individu yang independen dan dapat berfifikr maupun berpendapat secara kritis. Dan dalam learning to live together, setiap individu (siswa) memahami pentingnya pemahaman terhadap orang lain, menerima setiap persamaan dan perbedaan, dan menyadari adanya saling ketergantungan. Hal ini sangat penting karena dunia sudah sangat kompleks dan penuh dengan konflik. Keempat pilar ini merupakan pengalaman kehidupan yang menyeluruh, dimana siswa belajar memahami dan mengaplikasikan ilmu dan nilai yang difokuskan baik pada individu maupun pada lingkungan. Jika dilihat secara makro, keempat pilar pendidikan  tersebut sesungguhnya merujuk kepada tingkat mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang bermakna, artinya proses pendidikan dapat menghasilkan manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dapat digunakan untuk  menjawab tantangan era global.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan isu sentral yang banyak dibicarakan dewasa ini. Hal ini terjadi, selain adanya kepedulian dunia tentang mutu pendidikan global, juga lebih dikarenakan kenyataan bahwa mutu pendidikan kita kian hari kian terpuruk. Parameter internasional menunjukkan hal ini. Sebuah survai pada tahun 1996 mengenai kemampuan membaca anak sekolah dasar di 39 negara menghasilkan Indonesia berada pada peringkat ke-37. Sedangkan hasil survai oleh The Political and Economics Risk Consultation terhadap mutu pendidikan pada 12 negara, dan Indonesia berada pada posisi juru kunci. Demikian pula hasil penelitian terhadap Human Development Index  yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-102 dari 106 negara yang disurvai.
Ironis memang, di tahun 60-an banyak mahasiswa dari Malaysia yang bersekolah di Indonesia, terutama di Yogya, Bandung, dan Jakarta. Sekarang, banyak anak-anak Indonesia bersekolah di Malaysia. Harian Nusa edisi tanggal 18 Desember 2003 melaporkan bahwa banyak orangtua di Kalimantan yang menyekolahkan anaknya di Malaysia. Sementara orangtuanya tetap tinggal di Indonesia, anak-anaknya ditemani pembantu tinggal di rumah kontrakan di Malaysia.
Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan kita terletak pada unsur-unsur pendidikan itu sendiri, salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang selama ini terlalu sentralistik diyakini sangat tidak relevan dengan susunan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dilihat dari sudut ekonomi, geografi, dan budaya. Demikian pula kurikulum yang subject-matter oriented cenderung memisah-misahkan pengalaman belajar siswa ke dalam bidang-bidang studi, sehingga pada akhirnya menyebabkan siswa tercerabut dari kenyataan yang mereka jalani, yaitu kehidupan itu sendiri yang bersifat holistik dengan berbagai persoalan yang hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan yang terpadu dan komprehensif.
Uraian di atas menunjukkan betapa peningkatan mutu pendidikan bisa diantarkan salah satunya melalui perbaikan kurikulum. Untuk hal itu berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, salah satunya adalah merancang penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada semua jenjang sekolah. Layaknya suatu inovasi, KBK diharapkan membawa perbaikan dalam proses pendidikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan. Namun demikian, perlu dipahami suatu inovasi dapat pula menambah kusutnya benang kusut pendidikan kita selama ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu wawasan yang tepat mengenai KBK, dan sebagai tindakan preventif, perlu pula disadari dan diantisipasi potensi masalah yang dapat timbul dalam implementasinya.

3. KBK sebagai Manifestasi Paradigma Baru Pendidikan
Secara konseptual, kurikulum adalah sejumlah pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa.  Secara fungsional, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan  sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UUSPN, 2003). Dalam sejarahnya, pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum. Sejak tahun 2001, mulai dilakukan ujicoba terbatas Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Penyusunan KBK tidak terlepas dari perubahan paradigma pendidikan masa kini. Aliran konstruktivisme yang diilhami oleh pandangan Jean Piaget dan Lev Vygotsky tentang proses perkembangan kemampuan intelektual (Confrey, 1995), telah mengubah cara pandang para pendidik mengenai keberadaan anak dan proses belajarnya. Konstruktivisme menganggap individu dan lingkungannya bersifat holistik, suatu being yang utuh. Keberadaan individu tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dimana individu tersebut berada. Melalui interaksi dengan lingkungannya, individu membangun (to construct) pengetahuannya. Setiap orang adalah individu aktif yang secara terus-menerus berusaha mencapai keseimbangan (ekuilibrium) diri. Namun, bersamaan dengan itu selalu pula muncul ketidakseimbangan (disekuilibrium) berupa rasa ingin tahu dan kebutuhan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Melalui proses asimilasi dan akomodasi antara apa yang ada pada dirinya dengan apa yang ada disekitarnya individu membentuk pengetahuan baru.
Pemahaman terhadap keutuhan manusia sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial merupakan cikal bakal lahirnya paradigma baru pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi dipandang sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada anak didik. Sebab layaknya suatu proses pemindahan (transfer), ilmu yang diberikan diharapkan utuh diterima oleh peserta didik. Hal ini tidak tepat mengingat masing-masing individu utuh sebagai dirinya, yang tidak pernah sama antara satu dengan yang lain. Setiap individu memiliki pengetahuan awal, minat, strategi, dan proses kognitif yang berbeda, sehingga suatu informasi yang sama belum tentu dipersepsi sama oleh semua individu. Setiap individu meperoleh makna melalui transaksi pribadinya dengan informasi tersebut. Jadi, pendidikan adalah suatu proses transformasi ilmu. Melalui proses transaksi (yang meliputi proses asimilasi dan akomodasi) anak didik membentuk pengetahuannya.
Peranan lingkungan sosial budaya mendapat penekanan besar dalam Sociocultural Theory of Learning yang diajukan oleh Vygotsky. Sarjana hukum lulusan Universitas Moscow yang menekuni filsafat dan psikologi ini  mengatakan bahwa anak didik akan belajar optimal dalam lingkungan yang cocok dengan dirinya. Faktor mediasi (mediation) memungkinkan anak mencapai prestasi optimalnya. Menurut Vygotsky setiap anak didik berada pada suatu rentangan kemampuan yang disebut dengan Zone of Proximal Development (ZPD), dengan mediasi yang tepat seperti bantuan guru, peranan teman sebaya, orangtua, serta ekspose terhadap alam sekitar.
            Pengejawantahan perspektif konstruktivis dalam KBK dapat dilihat dari konsepsi bagaimana pembelajaran dilakukan. Fokus utama pembelajaran adalah optimalisasi belajar (optimalization of learning). Belajar optimal dapat dicapai melalui interaksi antara individu dengan karakteristiknya, dengan lingkungan dengan karakteristiknya pula. Interaksi yang intensif terjadi bilamana karakteristik individu semakin banyak sesuai dengan karakteristik lingkungannya, demikian pula sebaliknya.
Konsep ini terwujud dalam  ciri KBK yang mengunggulkan kemandirian dan keberagaman. Kemandirian dan keberagaman terjadi karena setiap anak didik mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya sesuai dengan minat dan kemampuannya. Berbagai kemungkinan ditawarkan dalam KBK untuk memfasilitasi kemandirian dan keberagaman tersebut, antara lain melalui asesmen berbasis kelas dimana penilaian bersifat holistik dan individual, serta kurikulum yang berdiversifikasi. Dengan berbagai kemungkinan itulah anak didik diharapkan membentuk pengetahuannya dalam rangka menjawab persoalan hidup yang dihadapinya.
Pengejawantahan paradigma baru pendidikan yang berorientasi konstruktivis seperti tersebut di atas dalam KBK dapat dilihat pada gambar berikut.


4. Potensi Masalah dalam  Implementasi KBK
Dalam suatu studi evaluatif tentang kesiapan guru dalam melaksanakan KBK, Kerta Adhi (2003) menemukan bahwa guru-guru IPS SMU tempat ujicoba KBK di Denpasar Bali, mempunyai kesiapan yang lebih tinggi untuk mengimplementasikan KBK dibandingkan dengan guru-guru sejenis yang sekolahnya tidak dipakai sebagai tempat ujicoba. Secara umum disimpulkan bahwa  guru-guru tersebut cukup siap untuk melaksanakan KBK. Namun, bila dilihat dari tiga faktor pendukung kesiapan guru, ternyata gurur-guru hanya siap pada faktor latar, tetapi kurang siap pada faktor input dan proses.
Secara umum temuan ini cukup menggembirakan karena dengan begitu berarti wacana implementasi KBK secara serentak pada semua SLTP dan SMU mulai tahun ajaran 2003/2004 ini cukup mendapat dukungan dari sudut kesiapan guru. Hal ini sangat penting mengingat berhasil tidaknya suatu kurikulum pada akhirnya sangat tergantung pada unjuk kerja guru. Hal itu dapat disadari karena kunci utama penerapan KBK adalah kesiapan, kemauan, dan kemampuan guru untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh. Sesempurna apapun inovasi pendidikan tidak akan berarti apa-apa (sia-sia) apabila tanpa guru yang berkompeten.
Namun, kesiapan guru menerapkan KBK dalam pembelajarannya bukan berarti penerapan KBK tanpa kendala. Seperti telah diungkapkan di depan, setiap inovasi pasti membutuhkan kesiapan semua komponen yang terlibat. Sejumlah masalah yang mungkin timbul, berikut ini dikaji melalui empat komponen KBK, yaitu komponen kurikulum dan hasil belajar, asesmen berbasis kelas, kegiatan belajar-mengajar, dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
            Komponen kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan kompetensi anak didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai 18 tahun. Yang dimaksud dengan kompetensi dalam KBK adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai  dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Perlu digarisbawahi bahwa kompetensi yang diharapkan dari anak didik tidaklah sama dengan craftsmanship. Seperti contoh, belajar membuat kursi dari tukang kursi. Kebiasaan untuk berfikir dan bertindak yang dimaksud adalah mencakup aspek kemampuan dasar/generik, dan aspek aplikatif dalam rangka menjawab persoalan yang ada. Dengan demikian, bila belajar membuat kursi, kompetensi yang diharapkan adalah bisa membuat kursi sesuai dengan kebutuhan. Begitu pun dengan kompetensi yang dimiliki dapat dipakai menilai dan melakukan refleksi diri. Pemahaman terhadap konsep kompetensi ini perlu dijelaskan dan dipahami dengan benar baik oleh para penyelenggara pendidikan maupun oleh para praktisi, sebagai tindakan antisipatif agar tidak terjadi kekeliruan penerapannya di lapangan.
Komponen Asesmen Berbasis kelas memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. Teknik-teknik asesmen berbasis kelas yang digunakan adalah portofolio, hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes uraian. Dilihat dari bentuk-bentuk asesmen tersebut, jelas adanya penekanan baik asesmen dalam proses maupun terhadap produk belajar.
Dari sekian teknik asesmen yang ditawarkan, asesmen portofolio dapat menjadi pilihan mengingat didalamnya tercakup asesmen proses maupun produk belajar. Asesmen portofolio bersifat on-going dan menyeluruh dalam arti melihat dari berbagai aspek, termasuk kelebihan dan kekurangan anak didik yang bersangkutan. Di dalam portofolio terdapat kumpulan karya-karya, baik yang masih berupa draf maupun karya jadi. Dalam asesmen portofolio anak didik juga dibiasakan untuk menilai karyanya sendiri, dan melakukan refleksi. Dengan demikian asesmen portofolio mengarah pada pemantauan perkembangan anak didik dalam upaya mencapai kompetensi tertentu yang diharapkan.
Penerapan asesmen berbasis kelas memerlukan penyesuaian yang cukup mendasar dari praktik asesmen yang digunakan di masa lampau. Penggunaan tes objektif, utamanya tes pilihan ganda telah menjadi primadona alat ukur hasil belajar. Demikian luas dan populernya penggunaan tes pilihan ganda, sampai-sampai menjadi suatu orientasi dalam proses pembelajaran, dimana telah terjadi dampak langsung sistem pengujian yang berorientasi pada tes objektif, terhadap proses pembelajaran. Lihat saja anak didik yang berusaha menjawab soal-soal berbentuk objektif yang ada pada akhir setiap pokok bahasan, tanpa mempelajari materinya terlebih dahulu. Jelas telah terjadi the effect of testing on instruction, padahal secara linier semestinya pembelajaranlah yang mempengaruhi bagaimana asesmen dilakukan.
Permasalahan lain yang tak kalah pelik adalah sistem penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi, dimana seleksinya masih menggunakan tes objektif; dan hasil tes tersebut merupakan satu-satunya dasar dalam pertimbangan penerimaan. Tentu saja sekolah, dalam hal ini SMU tidak mau beresiko lulusannya tidak lolos SPMB hanya karena tidak terbiasa mengerjakan tes objektif. Kekhawatiran ini telah sering terungkap dalam pertemuan-pertemuan mengenai KBK. Kebimbangan menerapkan teknik-teknik asesmen holistik seperti asesmen portofolio akan tetap ada sepanjang sistem rekrutmen untuk jenjang pendidikan lanjutan masih menggunakan tes pilihan ganda atau tes objektif lainnya.
Komponen kegiatan belajar mengajar memuat gagasan-gagasan pokok kegiatan pembelajaran yang lebih bermakna, tidak mekanistik. Jelas ini merupakan pengejawantahan konsep Developmentally Appropriate Practices yang bercirikan kebermaknaan dan ketercernaan. Kegiatan-kegiatan belajar yang nyata dan membumi selama ini lebih banyak hanya sebatas wacana. Pendekatan yang keliru terhadap pokok-pokok bahasan sebagai  satuan materi yang masing-masing berdiri sendiri telah membiasakan guru mengalokasikan waktu per pokok bahasan, padahal beberapa pokok bahasan dapat ditangani sekaligus secara terpadu intra bidang studi (bahkan diharapkan terjadi integrasi antar bidang studi; dan ini memungkinkan terutama di sekolah dasar).
Parahnya lagi, banyak guru yang ‘menggadaikan’ pembelajarannya pada buku, alias book-oriented. Target mereka adalah materi (dalam buku) selesai, tuntas. Caranya? Dengan membahas isi buku perhalaman dan anak didik menghafalnya! Diperlukan perubahan yang cukup mendasar baik pada tataran pemahaman konsep tentang pembelajaran bermakna, maupun pada teknik-teknik implementasinya di kelas.
 Dalam Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah dimungkinkan adanya diversifikasi kurikulum. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan kemampuan. Dengan kata lain, kurikulum diharapkan dapat melayani anak didik yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, maupun rendah dengan baik. Pengargaan terhadap keberagaman anak didik memang menjadi salah satu ciri KBK. Namun, dedikasi yang dituntut olehnya tidaklah kecil. Diversifikasi kurikulum hanya tampak indah di atas kertas, tetapi dalam pelaksanaannya, terutama dalam proses pembelajaran diperlukan strategi dan daya dukung yang tinggi mengingat bahwa pada umumnya kita memiliki kelas-kelas besar (rata-rata 40 orang per kelas), dan kebiasaan anak didik yang tidak mampu belajar mandiri. Pergeseran pola pembelajaran dari teacher-oriented ke student-oriented mutlak perlu dilakukan dalam rangka diversifikasi kurikulum tersebut.

5. Penutup
            KBK adalah sebuah upaya, sebuah terobosan yang sekarang diimplementasikan dalam pendidikan kita. Kehadirannya telah mengubah praktik penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam proses pembelajaran. Maka banyak yang harus dilakukan baik oleh para penyelenggara pendidikan di tingkat yang lebih tinggi, maupun oleh para praktisi di lapangan (guru). Suasana pendidikan kita menjadi marak, banyak pelatihan, pengadaan sarana dan prasarana, dan lain-lain penunjang pelaksanaan KBK. Demikianlah, KBK kini adalah sebuah kenyataan dalam dunia pendidikan kita.
Tetapi, KBK adalah juga sebuah harapan. Sebuah mimpi ingin diwujudkan melalui KBK, yaitu tercapainya mutu pendidikan yang tinggi. Bukankah KBK telah disesuaikan dengan perkembangan jaman, dinamika masyarakat global, dan teori-teori pendidikan masa kini, serta disusun untuk memenuhi empat pilar pendidikan seperti yang dituntut oleh laporan komisi pendidikan UNESCO? Maka, secara internal kurikulum, kita menggantungkan harapan yang besar agar keterpurukan mutu pendidikan sekarang ini dapat segera diatasi melalui KBK. Untuk itu diperlukan dukungan yang sungguh-sungguh dari para pengambil kebijakan, praktisi, dan masyarakat demi terwujudnya harapan meningkatkan mutu pendidikan, untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak bangsa. Kurangnya dedikasi dari seluruh komponen terkait bukan hanya akan menyebabkan kegagalan implementasi KBK, tetapi juga dapat menimbulkan masalah baru dalam khasanah pendidikan kita. Hendaknya perlu selalu diingat pesan para pemimpin pendidikan bahwa ‘to approach such an educational innovation with anything less than a total dedication to developing a quality education is to relegate this potentially powerful curriculum to the realms of other educational fads’. Kita selalu berharap hal ini tidak pernah terjadi.


DAFTAR  PUSTAKA


Confrey, Jere. (1995). ‘A Theory of Intellectual Development’. Journal for the Learning of Mathematics. Vol 15,1 (Februari). 38 – 47.
Delors, J. Dkk. (1996) Learning the Treasure Within, Education for the 21th Century Paris: UNESCO.
____________ (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Kerta Adhi, Made. (2003). Studi Evaluatif Kesiapan Guru Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Mengimplementasikan Kurikulm berbasis Kompetensi Sekolah menengah Umum Negeri Se-Kota Denpasar Tahun Pelajaran 2002 – 2003. (Tesis Tak Terpublikasikan). Singaraja: Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja.
Moya, S.S. & O’Malley, J.M. (1994). ;A Portfolio Model for ESL;. The Journal of Educational Issues of Language Minorities. Vol. 13 (Spring). 13-36.
Prawioko, Anjas. ‘Tahu Lebih Dekat Tentang Negeri Jiran, Malaysia: Dari Pertanian Menjadi Negara Modern’. Dalam Harian Nusa Edisi 18 Desember 2003. Terbit di Denpasar.
Syafaruddin. (2002). Manajemen Mutu Terpadu dalam pendidikan. Jakarta: Grasindo.
_____________ (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

0 komentar:

Posting Komentar