KURIKULUM BERBASIS
KOMPETENSI:
HARAPAN UNTUK
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
oleh
Nyoman Dantes
Jurusan Bimbingan Konseling
Fakultas Ilmu
Pendidikan, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Penerapan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) saat ini merupakan suatu harapan untuk
tercapainya mutu pendidikan Indonesia yang kini sedang terpuruk. Sebagai suatu
inovasi pendidikan, kurikulum tersebut dikembangkan sesuai dengan paradigma
baru pendidikan yang berorientasi konstruktivisme. Sejumlah potensi masalah
yang mungkin timbul dalam implementasinya perlu diantisipasi secara lebih dini.
Kata kunci:
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), paradigma baru pendidikan, implementasi
KBK
ABSTRACT
The current
implementation of the Competence-Based Curriculum (KBK) yields a hope for a
high quality of education in Indonesia, which is now in vain. As an educational
innovation, the curriculum has been developed based on the new educational
paradigm oriented to the constructivism. An early anticipation to a number of
potential problems in its implementation needs to be considered.
Key words: Competence-Based Curriculum (KBK), new
educational paradigm, implementation of KBK
1.
Pendahuluan
Dalam
dunia pendidikan, perubahan kurikulum bukanlah suatu hal yang luar biasa.
Bahkan idealnya, kurikulum harus diganti setiap lima tahun sekali. Hal ini
logis mengingat kurikulum merupakan sekumpulan pengalaman belajar yang
bertujuan memberi bekal hidup bagi setiap anak didik. Karena dunia terus
berkembang dengan berbagai perubahannya, maka kurikulum pun harus disesuaikan
dengan tuntutan jamannya.
Di jaman global sekarang ini dimana
sains dan teknologi terutama teknologi informasi berkembang sangat cepat,
diperlukan suatu kurikulum yang bersifat global dan fleksibel. Filsafat
konstruktivisme yang merajai cara pandang dunia saat ini membawa ciri
kemandirian, keberagaman, dan kreativitas dimana setiap orang harus aktif namun
tetap fleksibel dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Dunia pendidikan kita perlu
melakukan upaya-upaya untuk menjawab tantangan di atas. Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang baru saja digunakan secara serentak pada semua jenjang
sekolah tampak berusaha menjawab tantangan tersebut. Meskipun perubahan
kurikulum merupakan hal yang biasa, tetapi di lapangan penggunaan KBK telah
mengundang berbagai kepedulian, pertanyaan, bahkan pro-kontra. Sebagai sebuah
sumbangan pemikiran, tulisan ini mengulas mengenai KBK sebagai suatu harapan
untuk peningkatan mutu pendidikan dan sebagai pengejawantahan dari paradigma
baru pendidikan. Suatu analisis antisipatif mengenai potensi masalah yang
mungkin timbul juga dilakukan.
2. KBK: Suatu Harapan
Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad ke-21 dalam laporannya kepada
UNESCO (Delors, dkk. 1996) menyebutkan bahwa pendidikan yang bermakna harus
dilakukan melalui empat pilar pendidikan (the four pillars of education), yaitu
learning to know, learning to do,
learning to be, dan learning to live together. Dalam learning to
know siswa diharapkan menguasai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami
lingkungan. Dalam learning to do siswa dilatih untuk menggunakan ilmu
pengetahuannya untuk menjawab tantangan dunia kerja. Dalam learning to be
siswa dididik untuk menjadi individu yang independen dan dapat berfifikr maupun
berpendapat secara kritis. Dan dalam learning to live together, setiap
individu (siswa) memahami pentingnya pemahaman terhadap orang lain, menerima
setiap persamaan dan perbedaan, dan menyadari adanya saling ketergantungan. Hal
ini sangat penting karena dunia sudah sangat kompleks dan penuh dengan konflik.
Keempat pilar ini merupakan pengalaman kehidupan yang menyeluruh, dimana siswa
belajar memahami dan mengaplikasikan ilmu dan nilai yang difokuskan baik pada
individu maupun pada lingkungan. Jika dilihat secara makro, keempat pilar pendidikan tersebut sesungguhnya merujuk kepada tingkat
mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang bermakna,
artinya proses pendidikan dapat menghasilkan manusia yang memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai yang dapat digunakan untuk menjawab tantangan era global.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan isu sentral yang banyak dibicarakan
dewasa ini. Hal ini terjadi, selain adanya kepedulian dunia tentang mutu
pendidikan global, juga lebih dikarenakan kenyataan bahwa mutu pendidikan kita
kian hari kian terpuruk. Parameter internasional menunjukkan hal ini. Sebuah
survai pada tahun 1996 mengenai kemampuan membaca anak sekolah dasar di 39
negara menghasilkan Indonesia berada pada peringkat ke-37. Sedangkan hasil
survai oleh The Political and Economics
Risk Consultation terhadap mutu pendidikan pada 12 negara, dan Indonesia
berada pada posisi juru kunci. Demikian pula hasil penelitian terhadap Human Development Index yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada
peringkat ke-102 dari 106 negara yang disurvai.
Ironis memang, di tahun 60-an banyak mahasiswa dari Malaysia yang
bersekolah di Indonesia, terutama di Yogya, Bandung, dan Jakarta. Sekarang,
banyak anak-anak Indonesia bersekolah di Malaysia. Harian Nusa edisi tanggal 18 Desember 2003 melaporkan bahwa banyak
orangtua di Kalimantan yang menyekolahkan anaknya di Malaysia. Sementara
orangtuanya tetap tinggal di Indonesia, anak-anaknya ditemani pembantu tinggal
di rumah kontrakan di Malaysia.
Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan kita terletak pada unsur-unsur
pendidikan itu sendiri, salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang selama
ini terlalu sentralistik diyakini sangat tidak relevan dengan susunan
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dilihat dari sudut ekonomi, geografi,
dan budaya. Demikian pula kurikulum yang subject-matter
oriented cenderung memisah-misahkan pengalaman belajar siswa ke dalam
bidang-bidang studi, sehingga pada akhirnya menyebabkan siswa tercerabut dari
kenyataan yang mereka jalani, yaitu kehidupan itu sendiri yang bersifat
holistik dengan berbagai persoalan yang hanya dapat diselesaikan dengan
pendekatan yang terpadu dan komprehensif.
Uraian di atas menunjukkan betapa peningkatan mutu pendidikan bisa
diantarkan salah satunya melalui perbaikan kurikulum. Untuk hal itu berbagai
upaya dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, salah
satunya adalah merancang penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada
semua jenjang sekolah. Layaknya suatu inovasi, KBK diharapkan membawa perbaikan
dalam proses pendidikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Namun demikian, perlu dipahami suatu inovasi dapat pula menambah kusutnya
benang kusut pendidikan kita selama ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu
wawasan yang tepat mengenai KBK, dan sebagai tindakan preventif, perlu pula
disadari dan diantisipasi potensi masalah yang dapat timbul dalam
implementasinya.
3. KBK sebagai Manifestasi Paradigma Baru
Pendidikan
Secara konseptual, kurikulum adalah sejumlah pengalaman belajar yang
diberikan kepada siswa. Secara
fungsional, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 1
butir 19 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UUSPN, 2003). Dalam
sejarahnya, pendidikan di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan
kurikulum. Sejak tahun 2001, mulai dilakukan ujicoba terbatas Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK).
Penyusunan KBK tidak terlepas dari perubahan paradigma pendidikan masa
kini. Aliran konstruktivisme yang diilhami oleh pandangan Jean Piaget dan Lev
Vygotsky tentang proses perkembangan kemampuan intelektual (Confrey, 1995),
telah mengubah cara pandang para pendidik mengenai keberadaan anak dan proses
belajarnya. Konstruktivisme menganggap individu dan lingkungannya bersifat
holistik, suatu being yang utuh.
Keberadaan individu tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dimana individu
tersebut berada. Melalui interaksi dengan lingkungannya, individu membangun (to
construct) pengetahuannya. Setiap orang adalah individu aktif yang secara
terus-menerus berusaha mencapai keseimbangan (ekuilibrium) diri. Namun,
bersamaan dengan itu selalu pula muncul ketidakseimbangan (disekuilibrium)
berupa rasa ingin tahu dan kebutuhan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Melalui proses asimilasi dan akomodasi antara apa yang ada pada dirinya dengan
apa yang ada disekitarnya individu membentuk pengetahuan baru.
Pemahaman terhadap keutuhan manusia sebagai makhluk individu sekaligus
sebagai makhluk sosial merupakan cikal bakal lahirnya paradigma baru
pendidikan. Proses pendidikan tidak lagi dipandang sebagai upaya mentransfer
pengetahuan kepada anak didik. Sebab layaknya suatu proses pemindahan
(transfer), ilmu yang diberikan diharapkan utuh diterima oleh peserta didik.
Hal ini tidak tepat mengingat masing-masing individu utuh sebagai dirinya, yang
tidak pernah sama antara satu dengan yang lain. Setiap individu memiliki
pengetahuan awal, minat, strategi, dan proses kognitif yang berbeda, sehingga
suatu informasi yang sama belum tentu dipersepsi sama oleh semua individu.
Setiap individu meperoleh makna melalui transaksi pribadinya dengan informasi
tersebut. Jadi, pendidikan adalah suatu proses transformasi ilmu. Melalui
proses transaksi (yang meliputi proses asimilasi dan akomodasi) anak didik
membentuk pengetahuannya.
Peranan lingkungan sosial budaya mendapat penekanan besar dalam Sociocultural Theory of Learning yang
diajukan oleh Vygotsky. Sarjana hukum lulusan Universitas Moscow yang menekuni
filsafat dan psikologi ini mengatakan
bahwa anak didik akan belajar optimal dalam lingkungan yang cocok dengan
dirinya. Faktor mediasi (mediation) memungkinkan anak mencapai prestasi
optimalnya. Menurut Vygotsky setiap anak didik berada pada suatu rentangan
kemampuan yang disebut dengan Zone of
Proximal Development (ZPD), dengan mediasi yang tepat seperti bantuan guru,
peranan teman sebaya, orangtua, serta ekspose terhadap alam sekitar.
Pengejawantahan
perspektif konstruktivis dalam KBK dapat dilihat dari konsepsi bagaimana
pembelajaran dilakukan. Fokus utama pembelajaran adalah optimalisasi belajar
(optimalization of learning). Belajar optimal dapat dicapai melalui interaksi
antara individu dengan karakteristiknya, dengan lingkungan dengan
karakteristiknya pula. Interaksi yang intensif terjadi bilamana karakteristik
individu semakin banyak sesuai dengan karakteristik lingkungannya, demikian
pula sebaliknya.
Konsep ini terwujud dalam ciri KBK
yang mengunggulkan kemandirian dan keberagaman. Kemandirian dan keberagaman
terjadi karena setiap anak didik mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya sesuai dengan minat dan kemampuannya. Berbagai kemungkinan
ditawarkan dalam KBK untuk memfasilitasi kemandirian dan keberagaman tersebut,
antara lain melalui asesmen berbasis kelas dimana penilaian bersifat holistik
dan individual, serta kurikulum yang berdiversifikasi. Dengan berbagai kemungkinan
itulah anak didik diharapkan membentuk pengetahuannya dalam rangka menjawab
persoalan hidup yang dihadapinya.
Pengejawantahan paradigma baru pendidikan yang berorientasi konstruktivis
seperti tersebut di atas dalam KBK dapat dilihat pada gambar berikut.
4. Potensi Masalah dalam Implementasi KBK
Dalam suatu studi evaluatif tentang kesiapan guru dalam melaksanakan KBK,
Kerta Adhi (2003) menemukan bahwa guru-guru IPS SMU tempat ujicoba KBK di
Denpasar Bali, mempunyai kesiapan yang lebih tinggi untuk mengimplementasikan
KBK dibandingkan dengan guru-guru sejenis yang sekolahnya tidak dipakai sebagai
tempat ujicoba. Secara umum disimpulkan bahwa
guru-guru tersebut cukup siap untuk melaksanakan KBK. Namun, bila dilihat
dari tiga faktor pendukung kesiapan guru, ternyata gurur-guru hanya siap pada
faktor latar, tetapi kurang siap pada faktor input dan proses.
Secara umum temuan ini cukup menggembirakan karena dengan begitu berarti
wacana implementasi KBK secara serentak pada semua SLTP dan SMU mulai tahun ajaran
2003/2004 ini cukup mendapat dukungan dari sudut kesiapan guru. Hal ini sangat
penting mengingat berhasil tidaknya suatu kurikulum pada akhirnya sangat
tergantung pada unjuk kerja guru. Hal itu dapat disadari karena kunci utama
penerapan KBK adalah kesiapan, kemauan, dan kemampuan guru untuk melaksanakan
secara sungguh-sungguh. Sesempurna apapun inovasi pendidikan tidak akan berarti
apa-apa (sia-sia) apabila tanpa guru yang berkompeten.
Namun, kesiapan guru menerapkan KBK dalam pembelajarannya bukan berarti
penerapan KBK tanpa kendala. Seperti telah diungkapkan di depan, setiap inovasi
pasti membutuhkan kesiapan semua komponen yang terlibat. Sejumlah masalah yang
mungkin timbul, berikut ini dikaji melalui empat komponen KBK, yaitu komponen
kurikulum dan hasil belajar, asesmen berbasis kelas, kegiatan belajar-mengajar,
dan pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
Komponen kurikulum dan hasil belajar
memuat perencanaan pengembangan kompetensi anak didik yang perlu dicapai secara
keseluruhan sejak lahir sampai 18 tahun. Yang dimaksud dengan kompetensi dalam
KBK adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Perlu digarisbawahi bahwa kompetensi yang diharapkan
dari anak didik tidaklah sama dengan craftsmanship.
Seperti contoh, belajar membuat kursi dari tukang kursi. Kebiasaan untuk
berfikir dan bertindak yang dimaksud adalah mencakup aspek kemampuan
dasar/generik, dan aspek aplikatif dalam rangka menjawab persoalan yang ada.
Dengan demikian, bila belajar membuat kursi, kompetensi yang diharapkan adalah
bisa membuat kursi sesuai dengan kebutuhan. Begitu pun dengan kompetensi yang
dimiliki dapat dipakai menilai dan melakukan refleksi diri. Pemahaman terhadap
konsep kompetensi ini perlu dijelaskan dan dipahami dengan benar baik oleh para
penyelenggara pendidikan maupun oleh para praktisi, sebagai tindakan
antisipatif agar tidak terjadi kekeliruan penerapannya di lapangan.
Komponen Asesmen Berbasis kelas memuat prinsip, sasaran, dan pelaksanaan
penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas
publik. Teknik-teknik asesmen berbasis kelas yang digunakan adalah portofolio,
hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes
uraian. Dilihat dari bentuk-bentuk asesmen tersebut, jelas adanya penekanan
baik asesmen dalam proses maupun terhadap produk belajar.
Dari sekian teknik asesmen yang ditawarkan, asesmen portofolio dapat
menjadi pilihan mengingat didalamnya tercakup asesmen proses maupun produk belajar.
Asesmen portofolio bersifat on-going
dan menyeluruh dalam arti melihat dari berbagai aspek, termasuk kelebihan dan
kekurangan anak didik yang bersangkutan. Di dalam portofolio terdapat kumpulan
karya-karya, baik yang masih berupa draf maupun karya jadi. Dalam asesmen
portofolio anak didik juga dibiasakan untuk menilai karyanya sendiri, dan
melakukan refleksi. Dengan demikian asesmen portofolio mengarah pada pemantauan
perkembangan anak didik dalam upaya mencapai kompetensi tertentu yang
diharapkan.
Penerapan asesmen berbasis kelas memerlukan penyesuaian yang cukup
mendasar dari praktik asesmen yang digunakan di masa lampau. Penggunaan tes
objektif, utamanya tes pilihan ganda telah menjadi primadona alat ukur hasil
belajar. Demikian luas dan populernya penggunaan tes pilihan ganda,
sampai-sampai menjadi suatu orientasi dalam proses pembelajaran, dimana telah
terjadi dampak langsung sistem pengujian yang berorientasi pada tes objektif,
terhadap proses pembelajaran. Lihat saja anak didik yang berusaha menjawab
soal-soal berbentuk objektif yang ada pada akhir setiap pokok bahasan, tanpa
mempelajari materinya terlebih dahulu. Jelas telah terjadi the effect of testing on instruction, padahal secara linier
semestinya pembelajaranlah yang mempengaruhi bagaimana asesmen dilakukan.
Permasalahan lain yang tak kalah pelik adalah sistem penerimaan mahasiswa
baru di perguruan tinggi, dimana seleksinya masih menggunakan tes objektif; dan
hasil tes tersebut merupakan satu-satunya dasar dalam pertimbangan penerimaan.
Tentu saja sekolah, dalam hal ini SMU tidak mau beresiko lulusannya tidak lolos
SPMB hanya karena tidak terbiasa mengerjakan tes objektif. Kekhawatiran ini
telah sering terungkap dalam pertemuan-pertemuan mengenai KBK. Kebimbangan
menerapkan teknik-teknik asesmen holistik seperti asesmen portofolio akan tetap
ada sepanjang sistem rekrutmen untuk jenjang pendidikan lanjutan masih
menggunakan tes pilihan ganda atau tes objektif lainnya.
Komponen kegiatan belajar mengajar memuat gagasan-gagasan pokok kegiatan
pembelajaran yang lebih bermakna, tidak mekanistik. Jelas ini merupakan
pengejawantahan konsep Developmentally
Appropriate Practices yang bercirikan kebermaknaan dan ketercernaan.
Kegiatan-kegiatan belajar yang nyata dan membumi selama ini lebih banyak hanya
sebatas wacana. Pendekatan yang keliru terhadap pokok-pokok bahasan
sebagai satuan materi yang masing-masing
berdiri sendiri telah membiasakan guru mengalokasikan waktu per pokok bahasan,
padahal beberapa pokok bahasan dapat ditangani sekaligus secara terpadu intra
bidang studi (bahkan diharapkan terjadi integrasi antar bidang studi; dan ini
memungkinkan terutama di sekolah dasar).
Parahnya lagi, banyak guru yang ‘menggadaikan’ pembelajarannya pada buku,
alias book-oriented. Target mereka
adalah materi (dalam buku) selesai, tuntas. Caranya? Dengan membahas isi buku
perhalaman dan anak didik menghafalnya! Diperlukan perubahan yang cukup
mendasar baik pada tataran pemahaman konsep tentang pembelajaran bermakna,
maupun pada teknik-teknik implementasinya di kelas.
Dalam Pengelolaan Kurikulum
Berbasis Sekolah dimungkinkan adanya diversifikasi kurikulum. Kurikulum dapat
diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan
kemampuan. Dengan kata lain, kurikulum diharapkan dapat melayani anak didik yang
mempunyai kemampuan tinggi, sedang, maupun rendah dengan baik. Pengargaan
terhadap keberagaman anak didik memang menjadi salah satu ciri KBK. Namun,
dedikasi yang dituntut olehnya tidaklah kecil. Diversifikasi kurikulum hanya
tampak indah di atas kertas, tetapi dalam pelaksanaannya, terutama dalam proses
pembelajaran diperlukan strategi dan daya dukung yang tinggi mengingat bahwa
pada umumnya kita memiliki kelas-kelas besar (rata-rata 40 orang per kelas),
dan kebiasaan anak didik yang tidak mampu belajar mandiri. Pergeseran pola
pembelajaran dari teacher-oriented ke
student-oriented mutlak perlu
dilakukan dalam rangka diversifikasi kurikulum tersebut.
5. Penutup
KBK adalah sebuah upaya, sebuah
terobosan yang sekarang diimplementasikan dalam pendidikan kita. Kehadirannya
telah mengubah praktik penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam proses
pembelajaran. Maka banyak yang harus dilakukan baik oleh para penyelenggara
pendidikan di tingkat yang lebih tinggi, maupun oleh para praktisi di lapangan
(guru). Suasana pendidikan kita menjadi marak, banyak pelatihan, pengadaan
sarana dan prasarana, dan lain-lain penunjang pelaksanaan KBK. Demikianlah, KBK
kini adalah sebuah kenyataan dalam dunia pendidikan kita.
Tetapi, KBK adalah juga sebuah harapan. Sebuah mimpi ingin diwujudkan
melalui KBK, yaitu tercapainya mutu pendidikan yang tinggi. Bukankah KBK telah
disesuaikan dengan perkembangan jaman, dinamika masyarakat global, dan
teori-teori pendidikan masa kini, serta disusun untuk memenuhi empat pilar
pendidikan seperti yang dituntut oleh laporan komisi pendidikan UNESCO? Maka,
secara internal kurikulum, kita menggantungkan harapan yang besar agar
keterpurukan mutu pendidikan sekarang ini dapat segera diatasi melalui KBK.
Untuk itu diperlukan dukungan yang sungguh-sungguh dari para pengambil
kebijakan, praktisi, dan masyarakat demi terwujudnya harapan meningkatkan mutu
pendidikan, untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak bangsa. Kurangnya
dedikasi dari seluruh komponen terkait bukan hanya akan menyebabkan kegagalan
implementasi KBK, tetapi juga dapat menimbulkan masalah baru dalam khasanah
pendidikan kita. Hendaknya perlu selalu diingat pesan para pemimpin pendidikan
bahwa ‘to approach such an educational
innovation with anything less than a total dedication to developing a quality
education is to relegate this potentially powerful curriculum to the realms of
other educational fads’. Kita selalu berharap hal ini tidak pernah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Confrey, Jere.
(1995). ‘A Theory of Intellectual Development’. Journal for the Learning of Mathematics. Vol 15,1 (Februari). 38 –
47.
Delors, J. Dkk.
(1996) Learning the Treasure Within,
Education for the 21th Century Paris: UNESCO.
____________ (2002).
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Kerta Adhi, Made.
(2003). Studi Evaluatif Kesiapan Guru
Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Mengimplementasikan Kurikulm berbasis Kompetensi
Sekolah menengah Umum Negeri Se-Kota Denpasar Tahun Pelajaran 2002 – 2003.
(Tesis Tak Terpublikasikan). Singaraja: Program Pascasarjana IKIP Negeri
Singaraja.
Moya, S.S. &
O’Malley, J.M. (1994). ;A Portfolio Model for ESL;. The Journal of
Educational Issues of Language Minorities. Vol. 13 (Spring). 13-36.
Prawioko, Anjas.
‘Tahu Lebih Dekat Tentang Negeri Jiran, Malaysia: Dari Pertanian Menjadi Negara
Modern’. Dalam Harian Nusa Edisi 18
Desember 2003. Terbit di Denpasar.
Syafaruddin. (2002).
Manajemen Mutu Terpadu dalam pendidikan.
Jakarta: Grasindo.
_____________
(2003). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
0 komentar:
Posting Komentar